Sejarah Perang Gerilya Jenderal Sudirman
Banyak yang tahu siapa jenderal Sudirman, tapi mungkin tidak banyak yang tahu sejarah perjuangan perang gerilya yang dilakukan Jenderal Sudirman. Mari kita simak sejarah perang gerilya Jenderal Sudirman berikut ini.
Pada awal tahun 1944, Soedirman bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) buatan Jepang yang bertujuan untuk menghalau invasi Sekutu, dan merekrut para pemuda yang belum "terkontaminasi" oleh Belanda. Soedirman dijadikan sebagai komandan (daidanco) dan dilatih bersama orang lain dengan pangkat yang sama. Ia dilatih oleh para perwira dan tentara Jepang, para taruna dipersenjatai dengan peralatan yang disita dari Belanda. Setelah pelatihan, Soedirman ditempatkan di batalion Kroya, Banyumas, Jawa Tengah.
Pada bulan April 1945, Soedirman dan anak buahnya dikirim ke sebuah kamp di Bogor dengan alasan akan dilatih; tetapi sebenarnya mereka dipekerjakan sebagai pekerja kasar dalam upaya untuk mencegah pemberontakan lebih lanjut, dan desas-desus mengatakan bahwa perwira PETA akan dibunuh.
Dengan adanya peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada awal Agustus 1945, dan kemudian diikuti oleh proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus, kontrol Jepang sudah mulai melemah. Soedirman memimpin pelarian dari pusat penahanan di Bogor. Soedirman berangkat menuju Jakarta dan bertemu dengan Presiden Soekarno, yang memintanya untuk memimpin perlawanan terhadap pasukan Jepang di kota. Karena tidak terbiasa dengan lingkungan Jakarta, Soedirman menolaknya, ia malah menawarkan diri untuk memimpin pasukan di Kroya. Soedirman bergabung dengan pasukannya pada tanggal 19 Agustus 1945. Di saat yang bersamaan, pasukan Sekutu sedang dalam proses merebut kembali kepulauan Indonesia untuk Belanda, tentara Inggris pertama kali tiba pada tanggal 8 September 1945.
Soedirman dan beberapa rekannya sesama tentara PETA mendirikan cabang BKR di Banyumas pada akhir Agustus, setelah sebelumnya singgah di Kroya dan mengetahui bahwa batalion di sana telah dibubarkan. Dalam pertemuannya dengan komandan wilayah Jepang, Saburo Tamura, dan Residen Banyumas, Iwashige, Soedirman dan Iskak Cokroadisuryo memaksa Jepang untuk menyerahkan diri dan memberikan senjata mereka, sementara kerumunan warga Indonesia bersenjata mengepung kamp Jepang. Sebagian besar senjata ini kemudian digunakan oleh unit BKR Soedirman, menjadikan unitnya sebagai salah satu unit dengan senjata terbaik di Indonesia; sisa senjata juga dibagikan kepada batalion lain. Sebagai negara yang baru merdeka dan belum memiliki militer yang professional, pada tanggal 5 Oktober 1945 Soekarno mengeluarkan dekrit pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR, sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia). Sebagian besar personilnya adalah mantan tentara KNIL, sedangkan perwira tinggi berasal dari PETA dan Heihō. Dekrit mengangkat Soeprijadi sebagai Panglima Besar TKR, namun ia tidak muncul, dan kepala staff Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo ditetapkan sebagai pemimpin sementara. Pada bulan Oktober, pasukan Inggris, yang bertugas melucuti senjata tentara Jepang dan memulangkan tawanan perang Belanda, tiba di Semarang, dan kemudian bergerak menuju Magelang. Ketika Inggris mulai mempersenjatai kembali tentara Belanda yang menjadi tawanan perang dan sepertinya sedang mempersiapkan sebuah pangkalan militer di Magelang, Soedirman –yang sekarang menjadi kolonel – mengirim beberapa pasukannya di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman untuk mengusir mereka; misi ini berhasil, dan tentara Eropa menarik diri dari Ambarawa, di tengah-tengah Magelang dan Semarang. Pada 20 Oktober, Soedirman membawahi Divisi V setelah Oerip membagi Pulau Jawa menjadi divisi militer yang berbeda.
Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama TKR, Soedirman terpilih sebagai pemimpin TKR setelah melalui pemungutan suara buntu dua tahap. Pada tahap ketiga, Oerip mengumpulkan 21 suara, sedangkan Soedirman unggul dengan 22 suara; para komandan divisi Sumatera semuanya memilih Soedirman. Soedirman, yang saat itu berusia 29 tahun, terkejut atas hasil pemilihan dan menawarkan diri untuk melepas posisi tersebut kepada Oerip, namun para peserta rapat tidak mengizinkannya. Oerip, yang telah kehilangan kendali dalam pertemuan bahkan sebelum pemungutan suara dimulai, merasa senang karena tidak lagi bertanggung jawab atas TKR. Soedirman tetap menunjuk Oerip sebagai kepala staff. Sesuai dengan jabatan barunya, Soedirman dipromosikan menjadi Jenderal. Setelah pertemuan, Soedirman kembali ke Banyumas sembari menunggu persetujuan pemerintah dan mulai mengembangkan strategi mengenai bagaimana mengusir tentara Sekutu.[66][68] Rakyat Indonesia khawatir bahwa Belanda, yang diboncengi oleh Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA), akan berupaya untuk merebut kembali nusantara. Tentara gabungan Belanda-Inggris telah mendarat di Jawa pada bulan September, dan pertempuran besar telah terjadi di Surabaya pada akhir Oktober dan awal November. Ketidakstabilan ini, serta keraguan Soekarno atas kualifikasi Soedirman menyebabkan terlambatnya pengangkatan Soedirman sebagai pemimpin TKR.
Sambil menunggu pengangkatan, pada akhir November Soedirman memerintahkan Divisi V untuk menyerang pasukan Sekutu di Ambarawa, dikomandoi oleh Isdiman; kota itu dianggap penting secara strategis karena memiliki barak militer dan fasilitas pelatihan yang sudah ada sejak zaman penjajahan. Serangan ini dilumpuhkan oleh serangan udara dan tank-tank Sekutu, yang memaksa divisi untuk mundur, Isdiman sendiri tewas dalam pertempuran, terbunuh oleh pemberondong P-51 Mustang. Soedirman kemudian memimpin Divisi dalam serangan lain terhadap pasukan Sekutu; tentara Indonesia dipersenjatai dengan berbagai senjata, mulai dari bambu runcing dan katana sitaan sebagai senjata, sedangkan tentara Inggris dipersenjatai dengan peralatan modern. Soedirman memimpin di barisan depan sambil memegang sebuah katana. Sekutu, yang fasilitas serangan udaranya telah musnah saat tentara gerilya menyerang Lapangan Udara Kalibanteng di Semarang, berhasil dipukul mundur dan bersembunyi di Benteng Willem. Pada 12 Desember, Soedirman memimpin pengepungan empat hari, yang menyebabkan pasukan Sekutu mundur ke Semarang.
Pertempuran Ambarawa membuat Soedirman lebih diperhatikan di tingkat nasional, dan membungkam bisik-bisik yang menyatakan bahwa ia tidak layak menjadi pemimpin TKR karena kurangnya pengalaman militer dan pekerjaannya sebelumnya adalah guru sekolah. Pada akhirnya, Soedirman dipilih karena kesetiaannya yang tidak diragukan, sementara kesetiaan Oerip kepada Belanda dipandang dengan penuh kecurigaan. Soedirman dikukuhkan sebagai panglima besar TKR pada tanggal 18 Desember 1945. Posisinya sebagai kepala Divisi V digantikan oleh Kolonel Sutiro, dan mulai berfokus pada masalah-masalah strategis. Hal yang dilakukannya antara lain dengan membentuk dewan penasihat, yang bertugas memberikan saran mengenai masalah-masalah politik dan militer. Oerip sendiri menangani masalah-masalah militer.
Pada tanggal 25 Mei, Soedirman dikukuhkan kembali sebagai panglima besar setelah reorganisasi dan perluasan militer. Dalam upacara pengangkatannya, Soedirman bersumpah untuk melindungi republik "sampai titik darah penghabisan."
Sementara itu, Sjahrir terus berusaha bernegosiasi dengan pasukan Sekutu. Pada tanggal 7 Oktober 1946, Sjahrir dan mantan Perdana Menteri Belanda, Wim Schermerhorn, sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Perundingan ini dimoderatori oleh diplomat Inggris Lord Killearn, dan juga melibatkan Soedirman. Ia berangkat ke Jakarta dengan menggunakan kereta khusus pada tanggal 20 Oktober. Namun, ia diperintahkan untuk kembali ke Yogyakarta setelah tentara Belanda tidak mengijinkan dirinya dan anak buahnya memasuki Jakarta dengan bersenjata. Soedirman merasa bahwa perintah tersebut melanggar harga dirinya; Belanda kemudian meminta maaf, menyatakan bahwa peristiwa ini hanyalah kesalahpahaman. Soedirman berangkat dengan kereta lainnya pada akhir Oktober, dan tiba di Stasiun Gambir pada tanggal 1 November. Di Jakarta, ia disambut oleh kerumunan besar. Perundingan di Jakarta berakhir dengan perumusan Perjanjian Linggarjati pada tanggal 15 November; perjanjian ini disahkan pada 25 Maret 1947, meskipun ditentang oleh para nasionalis Indonesia. Soedirman secara lantang juga menentang perjanjian tersebut karena ia tahu bahwa perjanjian itu akan merugikan kepentingan Indonesia, namun menganggap dirinya juga wajib mengikuti perintah. Pada awal 1947, kondisi sudah relatif damai setelah Perjanjian Linggarjati. Soedirman mulai berupaya untuk mengonsolidasikan TKR dengan berbagai laskar. Dalam upayanya ini, Soedirman mulai melaksanakan reorganisasi militer; kesepakatan baru bisa tercapai pada Mei 1947, dan pada 3 Juni 1947, Tentara Nasional Indonesia (TNI) diresmikan. TNI terdiri dari TKR dan tentara dari berbagai kelompok laskar, yang berhasil dirangkul Soedirman setelah mengetahui bahwa mereka dimanfaatkan oleh partai-partai politik. Namun, gencatan senjata yang berlangsung pasca Perjanjian Linggarjati tidak bertahan lama. Pada tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda –yang telah menduduki wilayah peninggalan Inggris selama penarikan mereka – melancarkan Agresi Militer, dan dengan cepat berhasil menguasai sebagian besar Jawa dan Sumatera. Meskipun demikian, pemerintahan pusat di Yogyakarta tetap tak tersentuh. Soedirman menyerukan kepada para tentara untuk melawan dengan menggunakan semboyan "Ibu Pertiwi memanggil!, dan kemudian menyampaikan beberapa pidato melalui RRI, namun upayanya ini gagal mendorong tentara untuk berperang melawan Belanda. Terlebih lagi, tentara Indonesia sedang tidak siap dan pertahanan mereka ditaklukkan dengan cepat.
Setelah ditekan oleh PBB, yang memandang situasi di bekas Hindia dengan remeh, pada 29 Agustus 1947 Belanda menciptakan Garis Van Mook. Garis ini membagi wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Belanda dan Indonesia. Di sepanjang garis ini, gencatan senjata diberlakukan. Soedirman memanggil para gerilyawan Indonesia yang bersembunyi di wilayah taklukan Belanda, memerintahkan mereka agar kembali ke wilayah yang dikuasai Indonesia. Untuk tetap mengobarkan semangat mereka, ia menyebut penarikan ini dengan hijrah, merujuk pada perjalanan nabi Muhammad ke Madinah pada tahun 622 M, dan meyakinkan bahwa mereka akan kembali. Lebih dari 35.000 tentara meninggalkan Jawa bagian barat dan berangkat menuju Yogyakarta dengan menggunakan kereta dan kapal laut. Perbatasan ini diresmikan melalui Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948; penandatangan perjanjian ini di antaranya adalah Amir Sjarifuddin, yang pada saat itu menjabat sebagai perdana menteri. Di saat yang bersamaan, Sjarifuddin mulai merasionalisasi TNI (Program Re-Ra) dengan memangkas jumlah pasukan. Pada saat itu, tentara reguler terdiri dari 350.000 personil, dan lebih dari 470.00 terdapat di laskar.
Dengan adanya program ini, pada tanggal 2 Januari 1948 Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No.1 Tahun 1948, yang memecah pucuk pimpinan TNI menjadi Staf Umum Angkatan Perang dan Markas Besar Pertempuran. Staf Umum dimasukkan ke dalam Kementerian Pertahanan di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP). Sementara itu, Markas Besar Pertempuran dipimpin oleh seorang Panglima Besar Angkatan Perang Mobil. Pucuk pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang beserta seluruh perwira militer dihapus, dan pangkatnya diturunkan satu tingkat. Presiden kemudian mengangkat Soerjadi Soerjadarma sebagai Kepala Staf Angkatan Perang dengan Kolonel T.B. Simatupang sebagai wakilnya. Sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Mobil diangkat Soedirman. Staf Umum Angkatan Perang bertugas sebagai perencana taktik dan siasat serta berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan, sedangkan Staf Markas Besar Angkatan Perang Mobil adalah pelaksana taktis operasional.
Keputusan Presiden ini menimbulkan reaksi di kalangan angkatan perang. Pada tanggal 27 Februari 1948, presiden mengeluarkan Ketetapan Presiden No.9 Tahun 1948 yang membatalkan ketetapan yang lama. Dalam ketetapan yang baru ini, Staf Angkatan Perang tetap di bawah Soerjadi Soerjadarma, sedangkan Markas Besar Pertempuran tetap di bawah Soedirman, ditambah wakil panglima yaitu Djenderal Major A.H. Nasution. Angkatan perang berada di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP) yang membawahi Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL), dan Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU). Dalam penataannya, organisasi ini dibagi menjadi 2 bagian; penataan kementerian dan pimpinan tertinggi ditangani oleh KASAP, sementara mengenai pasukan serta daerah-daerah pertahanan ditangani oleh Wakil Panglima Besar Angkatan Perang.
Pemberontakan di Madiun, dan ketidakstabilan politik yang sedang berlangsung, melemahkan kondisi kesehatan Soedirman. Pada tanggal 5 Oktober 1948, setelah perayaan hari jadi TNI ketiga, Soedirman pingsan. Setelah diperiksa oleh berbagai dokter, ia didiagnosis mengidap tuberkulosis (TBC). Pada akhir bulan, ia dibawa ke Rumah Sakit Umum Panti Rapih dan menjalani pengempesan paru-paru kanan, dengan harapan bahwa tindakan ini akan menghentikan penyebaran penyakit tersebut. Selama di rumah sakit, ia melimpahkan sebagian tugas kepada Nasution. Mereka berdua terus mendiskusikan rencana untuk berperang melawan Belanda, dan Soedirman secara rutin menerima laporan. Mereka sepakat bahwa perang gerilya, yang telah diterapkan di wilayah taklukan Belanda sejak bulan Mei, adalah perang yang paling cocok bagi kepentingan mereka; untuk mewujudkan hal ini, Soedirman mengeluarkan perintah umum pada 11 November, dan persiapannya ditangani oleh Nasution. Soedirman dipulangkan dari rumah sakit pada tanggal 28 November 1948.
Pada 19 Desember, Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua untuk merebut ibu kota Yogyakarta. Pukul 07.00 Waktu Indonesia Barat, lapangan udara di Maguwo berhasil diambil alih oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Eekhout. Soedirman, yang telah menyadari serangan itu, memerintahkan stasiun RRI untuk menyiarkan pernyataan bahwa para tentara harus melawan karena mereka telah dilatih – sebagai gerilyawan.
Soedirman kemudian mengunjungi Istana Presiden di Yogyakarta, tempat para pemimpin pemerintahan sedang mendiskusikan ultimatum yang menyatakan bahwa kota itu akan diserbu kecuali para pemimpin menerima kekuasaan kolonial. Soedirman mendesak presiden dan wakil presiden agar meninggalkan kota dan berperang sebagai gerilyawan, namun sarannya ini ditolak. Meskipun dokter melarangnya, Soedirman mendapat izin dari Soekarno untuk bergabung dengan anak buahnya. Pemerintah pusat dievakuasi ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat atas desakan Sultan Hamengkubuwono IX, namun mereka tertangkap dan diasingkan.
Perang gerilya
Sebelum memulai gerilya, Soedirman pertama-tama pergi ke rumah dinasnya dan mengumpulkan dokumen-dokumen penting, lalu membakarnya untuk mencegahnya jatuh ke tangan Belanda. Soedirman, bersama sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, mulai bergerak ke arah selatan menuju Kretek, Parangtritis, Bantul. Setibanya di sana, mereka disambut oleh bupati pada pukul 18.00. Selama di Kretek, Soedirman mengutus tentaranya yang menyamar ke kota yang telah diduduki oleh Belanda untuk melakukan pengintaian, dan meminta istrinya menjual perhiasannya untuk membantu mendanai gerakan gerilya. Setelah beberapa hari di Kretek, ia dan kelompoknya melakukan perjalanan ke timur di sepanjang pantai selatan menuju Wonogiri. Sebelum Belanda menyerang, sudah diputuskan bahwa Soedirman akan mengontrol para gerilyawan dari Jawa Timur, yang masih memiliki beberapa pangkalan militer. Sementara itu, Alfiah dan anak-anaknya diperintahkan untuk tinggal di Kraton. Sadar bahwa Belanda sedang memburu mereka, pada tanggal 23 Desember Soedirman memerintahkan pasukannya untuk melanjutkan perjalanan ke Ponorogo. Di sana, mereka berhenti di rumah seorang ulama bernama Mahfuz; Mahfuz memberi sang jenderal sebuah tongkat untuk membantunya berjalan, meskipun Soedirman terus dibopong dengan menggunakan tandu di sepanjang perjalanan. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke timur.
Di dekat Trenggalek, Soedirman dan kelompoknya dihentikan oleh prajurit TNI dari Batalion 102. Para tentara ini diberitahu bahwa Soedirman –yang saat itu berpakaian sipil dan dan tidak dikenali oleh tentara yang menghentikan mereka – adalah tahanan dan menolak untuk melepaskan Soedirman dan kelompoknya; mereka mencurigai konvoi Soedirman yang membawa peta dan catatan militer Indonesia, benda yang mungkin dimiliki oleh mata-mata. Ketika sang komandan, Mayor Zainal Fanani, datang untuk memeriksa keadaan, ia menyadari bahwa orang itu adalah Soedirman dan segera meminta maaf. Fanani beralasan bahwa tindakan anak buahnya sudah tepat karena menjaga wilayah dengan saksama. Ia juga menyebutkan tentang sebuah pos di Kediri dan menyediakan mobil untuk mengangkut Soedirman dan pasukannya. Setelah beberapa saat di Kediri, mereka melanjutkan perjalanan lebih jauh ke timur; setelah mereka meninggalkan kota pada tanggal 24 Desember, Belanda berencana untuk menyerang Kediri.
Serangan Belanda yang berkelanjutan menyebabkan Soedirman harus mengganti pakaiannya dan memberikan pakaian lamanya pada salah seorang prajuritnya, Letnan Heru Kesser –yang memiliki kemiripan dengan Soedirman. Kesser diperintahkan untuk menuju selatan bersama sekompi besar tentara, mengganti pakaiannya, dan diam-diam kembali ke utara, sedangkan Soedirman menunggu di Karangnongko. Pengalihan ini berhasil, dan pada 27 Desember, Soedirman dan anak buahnya bergerak menuju Desa Jambu dan tiba pada 9 Januari 1949. Di sana, Soedirman bertemu dengan beberapa menteri yang tidak berada di Yogyakarta saat penyerangan: Supeno, Susanto Tirtoprojo, dan Susilowati. Bersama para politisi ini, Soedirman berjalan ke Banyutuwo sambil memerintahkan beberapa tentaranya untuk menahan pasukan Belanda. Di Banyutuwo, mereka menetap selama seminggu lebih. Namun, pada 21 Januari, tentara Belanda mendekati desa. Soedirman dan rombongannya terpaksa meninggalkan Banyutuwo, berjuang menembus jalan dalam hujan lebat.
Soedirman dan pasukannya terus melakukan perjalanan melewati hutan dan rimba, akhirnya tiba di Sobo, di dekat Gunung Lawu, pada tanggal 18 Februari. Selama perjalanannya ini, Soedirman menggunakan sebuah radio untuk memberi perintah pada pasukan TNI setempat jika ia yakin bahwa daerah itu aman. Merasa lemah karena kesulitan fisik yang ia hadapi, termasuk perjuangannya melewati hutan dan kekurangan makanan, Soedirman yakin bahwa Sobo aman dan memutuskan untuk menggunakannya sebagai markas gerilya. Komandan tentara setempat, Letnan Kolonel Wiliater Hutagalung, berperan sebagai perantara antara dirinya dengan pemimpin TNI lain. Mengetahui bahwa opini internasional yang mulai mengutuk tindakan Belanda di Indonesia bisa membuat Indonesia menerima pengakuan yang lebih besar, Soedirman dan Hutagalung mulai membahas kemungkinan untuk melakukan serangan besar-besaran. Sementara itu, Belanda mulai menyebarkan propaganda yang mengklaim bahwa mereka telah menangkap Soedirman; propaganda tersebut bertujuan untuk mematahkan semangat para gerilyawan.
Soedirman memerintahkan Hutagalung untuk mulai merencanakan serangan besar-besaran, dengan prajurit TNI berseragam akan menyerang Belanda dan mununjukkan kekuatan mereka di depan wartawan asing dan tim investigasi PBB. Hutagalung, bersama para prajurit dan komandannya, Kolonel Bambang Sugeng, serta pejabat pemerintahan di bawah pimpinan Gubernur Wongsonegoro, menghabiskan waktu beberapa hari dengan membahas cara-cara untuk memastikan agar serangan itu berhasil. Pertemuan ini menghasilkan rencana Serangan Umum 1 Maret 1949; pasukan TNI akan menyerang pos-pos Belanda di seluruh Jawa Tengah. Pasukan TNI di bawah komando Letnan Kolonel Soeharto berhasil merebut kembali Yogyakarta dalam waktu enam belas jam, menjadi unjuk kekuatan yang sukses dan menyebabkan Belanda kehilangan muka di mata internasional; Belanda sebelumnya menyatakan bahwa TNI sudah diberantas. Namun, siapa tepatnya yang memerintahkan serangan ini masih belum jelas: Soeharto dan Hamengkubuwono IX sama-sama mengaku bertanggung jawab atas serangan ini, sedangkan saudara Bambang Sugeng juga menyatakan bahwa dia lah yang telah memerintahkan serangan tersebut.
Karena semakin meningkatnya tekanan dari PBB, pada 7 Mei 1949 Indonesia dan Belanda menggelar perundingan, yang menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. Perjanjian ini menyatakan bahwa Belanda harus menarik pasukannya dari Yogyakarta, beserta poin-poin lainnya; Belanda mulai menarik pasukannya pada akhir Juni, dan para pemimpin Indonesia di pengasingan kembali ke Yogyakarta pada awal Juli. Soekarno lalu memerintahkan Soedirman untuk kembali ke Yogyakarta, tapi Soedirman menolak untuk membiarkan Belanda menarik diri tanpa perlawanan; ia menganggap pasukan TNI pada saat itu sudah cukup kuat untuk mengalahkan pasukan Belanda. Meskipun ia dijanjikan akan diberi obat-obatan dan dukungan di Yogyakarta, Soedirman menolak untuk kembali ke kalangan politisi, yang menurutnya telah sepaham dengan Belanda. Soedirman baru setuju untuk kembali ke Yogyakarta setelah menerima sebuah surat, yang pengirimnya masih diperdebatkan. Pada tanggal 10 Juli, Soedirman dan kelompoknya kembali ke Yogyakarta, mereka disambut oleh ribuan warga sipil dan diterima dengan hangat oleh para elit politik di sana. Wartawan Rosihan Anwar, yang hadir pada saat itu, menulis pada 1973 bahwa "Soedirman harus kembali ke Yogyakarta untuk menghindari anggapan adanya keretakan antar pemimpin tertinggi republik".
Pasca-perang dan kematian
Pada awal Agustus, Soedirman mendekati Soekarno dan memintanya untuk melanjutkan perang gerilya; Soedirman tidak percaya bahwa Belanda akan mematuhi Perjanjian Roem-Royen, belajar dari kegagalan perjanjian sebelumnya. Soekarno tidak setuju, yang menjadi pukulan bagi Soedirman. Soedirman menyalahkan ketidak-konsistenan pemerintah sebagai penyebab penyakit tuberkulosisnya dan kematian Oerip pada 1948, ia mengancam akan mengundurkan diri dari jabatannya, namun Soekarno juga mengancam akan melakukan hal yang sama. Setelah ia berpikir bahwa pengunduran dirinya akan menyebabkan ketidakstabilan, Soedirman tetap menjabat, dan gencatan senjata di seluruh Jawa mulai diberlakukan pada tanggal 11 Agustus 1949.
Soedirman terus berjuang melawan TBC dengan melakukan pemeriksaan di Panti Rapih. Ia menginap di Panti Rapih menjelang akhir tahun, dan keluar pada bulan Oktober; ia lalu dipindahkan ke sebuah sanatorium di dekat Pakem. Akibat penyakitnya ini, Soedirman jarang tampil di depan publik. Ia dipindahkan ke sebuah rumah di Magelang pada bulan Desember. Di saat yang bersamaan, pemerintah Indonesia dan Belanda mengadakan konferensi panjang selama beberapa bulan yang berakhir dengan pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Meskipun sedang sakit, Soedirman saat itu juga diangkat sebagai panglima besar TNI di negara baru bernama Republik Indonesia Serikat. Pada 28 Desember, Jakarta kembali dijadikan sebagai ibu kota negara.
Soedirman wafat di Magelang pada pukul 18.30 tanggal 29 Januari 1950; kabar duka ini dilaporkan dalam sebuah siaran khusus di RRI. Setelah berita kematiannya disiarkan, rumah keluarga Soedirman dipadati oleh para pelayat, termasuk semua anggota Brigade IX yang bertugas di lingkungan tersebut. Keesokan harinya, jenazah Soedirman dibawa ke Yogyakarta, diiringi oleh konvoi pemakaman yang dipimpin oleh empat tank dan delapan puluh kendaraan bermotor, dan ribuan warga yang berdiri di sisi jalan. Konvoi tersebut diselenggarakan oleh anggota Brigade IX.
Jenazah Soedirman disemayamkan di Masjid Gedhe Kauman pada sore hari, yang dihadiri oleh sejumlah elit militer dan politik Indonesia maupun asing, termasuk Perdana Menteri Abdul Halim, Menteri Pertahanan Hamengkubuwono IX, Menteri Kesehatan Johannes Leimena, Menteri Keadilan Abdoel Gaffar Pringgodigdo, Menteri Informasi Arnold Mononutu, Kepala Staff TNI AU Soerjadi Soerjadarma, Kolonel Paku Alam VIII, dan Soeharto. Upacara ini ditutup dengan prosesi hormat 24 senjata. Jenazah Soedirman kemudian dibawa ke Taman Makam Pahlawan Semaki dengan berjalan kaki, sementara kerumunan pelayat sepanjang 2 kilometer (1.2 mil) mengiringi di belakang. Ia dikebumikan di sebelah Oerip setelah prosesi hormat senjata. Istrinya menuangkan tanah pertama ke makamnya, lalu diikuti oleh para menteri. Pemerintah pusat memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung di seluruh negeri, dan Soedirman dipromosikan menjadi jenderal penuh. Djenderal Major Tahi Bonar Simatupang terpilih sebagai pemimpin angkatan perang yang baru. Memoar Soedirman diterbitkan pada tahun itu, dan rangkaian pidato-pidatonya juga diterbitkan pada tahun 1970.
sumber : wikipedia
0 Response to "Sejarah Perang Gerilya Jenderal Sudirman"
Posting Komentar
silakan berkomentar. No SARA. jangan memasang link hidup di dalam isi komentar atau akan dihapus.