Sejarah Masa Kecil Presiden Soeharto
Soeharto, Presiden ke-2 RI,
lahir pada tanggal 8 Juni 1921, di desa Kemusuk daerah Argomulyo
Godean, sebelah Barat Yogyakarta. Putra ketiga dari istri pertama
(Nyonya Sukirah) dari Bapak Kartosudiro, seorang ulu-ulu atau petugas
pengatur air di desa Kemusuk.
Agar mendapatkan pendidikan secara lebih baik, pada usia 8 tahun Soeharto kecil dititipkan ayahnya kepada adik perempuan satu-satunya yang berada di Wuryantoro Wonogiri. Suatu daerah sebelah timur Yogyakarta yang secara sosio-ekonomi tidak lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi Godean. Hanya saja bibinya bersuamikan mantri tani, Bapak Prawirowihardjo dan disinilah ia memperoleh pendidikan lebih baik daripada yang diperolehnya di Kemusuk.
Setelah
menamatkan sekolah rendah lima tahun, ia meneruskan ke sekolah lanjutan
rendah (schakel school) di Wonogiri. Ia terpaksa pindah rumah ke
Selogiri, 6 kilometer dari Wonogiri dan tinggal di rumah Citratani,
kakak perempuan yang menikah dengan pegawai pertanian. Ia baru di khitan
(sunat) saat usia sudah 14 tahun, dan dirayakan dengan tasyakuran
secara sederhana.
Kehidupan keluarga Citratani retak, sehingga ia terpaksa pindah ke Wonogiri lagi dan tinggal di keluarga Bapak Hardjowiyono,
teman ayahnya, seorang pensiunan pegawai Kereta Api. Keluarga ini tidak
punya anak. Di tempat ini, Soeharto kecil biasa membersihkan rumah
sebelum berangkat sekolah, dan pergi ke pasar untuk belanja ataupun
menjualkan hasil kerajinan tangan buatan Bu Hardjo. Melalui keluarga ini
pula, Soeharto kecil bertemu dengan Kyai Daryatmo, seorang kyai
sufistik yang tidak hanya memiliki ilmu agama yang sangat luas, akan
tetapi juga merupakan seorang tabib yang menguasai ilmu pengobatan,
sekaligus guru masyarakat. Rumah Kyai Daryatmo tidak berjauhan dengan
kediaman Bapak Hardjowiyono dan di langgar (mushola) milik Kyai inilah,
Soeharto kecil belajar agama. Ia juga sering mendengarkan
nasehat-nasehat Kyai Daryatmo kepada mereka yang banyak datang
memerlukan, orang-orang terpelajar, pedagang, pegawai, petani sampai
bakul-bakul / pedagang kecil.
Lalu Soeharto kecil kembali ke Kemusuk untuk melanjutkan sekolah Muhammadiyah yang
dijalaninya dengan naik sepeda dari Kemusuk ke Yogyakarta setiap hari.
Ia meninggalkan keluarga Hardjowiyono dan ta'lim Kyai Daryatmo karena
ada peraturan sekolah yang mewajibkan murid memakai celana pendek dan
bersepatu, sedang orang tua Soeharto tidak sanggup membelikan. Di Yogya
ia bisa bersekolah dengan memakai sarung atau kain. Ia tidak kikuk,
karena ada murid lain yang ke sekolah dengan pakaian seperti dirinya. Ia
tetap fokus pada pelajaran dan pada tahun 1939 (usia 18 tahun) ia
berhasil menamatkan sekolah di schakel Muhammadiyah Yogyakarta.
Mengesankan....
BalasHapus